Monday, September 1, 2008

Bersama Rm. David M. Kammler OP, Menyaksikan Keagungan SEMANA SANTA di Larantuka-Flores


Fr. David M. Kammler OP adalah Pemimpin tertinggi Dominikan Awam sedunia saat ini, yang kini beranggota +/- 150.000 orang. Perjumpaan pertama dengan Fr. David terjadi bulan Mei 2007, pada pertemuan pimpinan DSI (Dominican Sisters International) di Roma. Pada kesempatan itu saya informasikan kepada beliau bahwa setiap Jumad Agung, di Larantuka diselenggarakan prosesi Jumad Agung yang khas, berlangsung sampai pagi Sabtu Suci. Tradisi ini diajarkan para Misioner Dominikan kepada penduduk Larantuka kira-kira 500 tahun yang lalu.

Ternyata pada Pekan Suci tahun ini, kesempatan istimewa menghantar Fr David M. Kammler OP ke Larantuka. Menyaksikan langsung keagungan prosesi Semana Santa. Keberangkatan naik Merpati dari Jakarta ke Maumere hari Rabu Trewa tanggal 19 Maret lalu, berlangsung amat menyenangkan. Namun selanjutnya, perjalanan menuju Larantuka melalui darat membuat hati dan badan menjadi tegang karena jalan yang berliku dan pengemudi yang begitu trampil melarikan kendaraan dengan kecepatan cukup tinggi, membuat kami mabuk perjalanan. Syukurlah, setelah hampir 4 jam perjalanan, akhirnya kami tiba dengan selamat di biara Susteran OP di Larantuka.

SEKELUMIT SEJARAH MISI KATOLIK LARANTUKA
( Seperti tertulis dibuku panduan Semana Santa Paroki Katedral Reinha Rosari 2008. )

Kehadiran Gereja Katolik di pulau Timor dan Solor diperkirakan terjadi sekitar tahun 1520 an, tatkala kapal-kapal dagang Portugis selalu tiba tiap tahunnya dari dan ke Malaka untuk perdagangan kayu Cendana. Dari catatan sejarah diketahui bahwa seorang saudagar Portugis bernama Jese Soares telah mempermandikan 200 orang di Lewonama, sebuah kampung di ujung Timur pulau Flores, tidak terlalu jauh dari Larantuka. Kemudian seorang imam Dominikan P. Antonio de Taveria, OP sebagai pastor kapal Portugis telah mempermandikan sekitar 5000 orang di pulau Timor. Selain itu, ketika kapal yang ditumpanginya menyinggahi Lohayong di Pulau Solor dan Larantuka di Pulau Flores, beliau mendapati banyak orang katolik disana dan berkesempatan memperman-dikan banyak orang. Setelah kembali ke Malaka, pastor Antonio melaporkan hal itu kepada Uskup Malaka: Mgr. Jorge da Santa Lucia, OP dan segera Uskup mengirim 3 Misionaris Dominikan ke Solor. Hal itu terjadi tahun 1561. Oleh karenanya, tahun ini ditetapkan sebagai tahun resmi awal karya Misi Katolik di kawasan ini.

Gereja di zaman misi Dominikan mulanya berpusat di Lohayong, Solor sehingga disebut Misi Solor. Konflik dan pertentangan baik dengan penduduk pribumi maupun dari pihak lain terutama dari pihak Belanda sangat mempengaruhi perjalanan panjang sejarah Misi Solor karena telah menelan korban tak ternilai harganya baik jiwa maupun harta benda. Banyak misionaris Purtugis yang gugur sebagai martir. Tak terhitung berapa banyak umat Katolik yang menjadi korban. Pengepungan dan penyerangan yang terjadi berulang kali terhadap basis-basis misi Solor, terutama pusatnya di Lohayong – Solor menyebabkan Pusat Misi Solor harus dipindahkan ke Larantuka pada tahun 1636.
Kedudukan Larantuka sebagai pusat Misi dipandang lebih cocok sehingga ketika Belanda memduduki Malaka dan mengusir Portugis dari sana pada tahun 1641, hampir seluruh kekayaan Portugis di Malakan diungsikan ke Larantuka, termasuk segala kekayaan peralatan ibadat Katolik. Lebih meyakinkan adalah ketika pada tahun 1646 saat diper-mandikannya Raja Larantuka Don Constantinho DVG (Raja Ola Adobala) yang oleh seluruh penduduk diakui sebagai pemimpin rakyat sekaligus sebagai Pemimpin Agama.

Setelah enampuluh tahun lamanya Larantuka menjadi pusat Misi, maka pada tahun 1702 Lifao di pulau Timor dipilih menjadi pusat Misi Timor dan Solor. Dan akhirnya pada tahun 1769 dipindahkan ke Dili – Timor. Dengan kepindahan pusat Misi ke Lifao, kemudian ke Dili, maka kunjungan imam-imam Misonaris untuk pelayanan umat ke wilayah Larantuka ini sangat jarang terjadi. Bahkan sejak tahun 1800 umat Katolik disini tidak pernah dikunjungi oleh Imam. Akibatnya, banyak umat Katolik kembali kepada agama asli mereka dan melaksanakan praktek kehidupan yang bertentangan dengan ajaran Katolik.

Meskipun demikian, masih terdapat banyak umat Katolik yang tetap bertahan dengan kebiasaan-kebiasaan hidup rohani berkat adanya Serikat Confreria, sebuah Serikat Persaudaraan bapak-bapak yang dibentuk oleh Pastor Dominikan di abad ke XVII.

Kebiasaan merayakan Liturgi secara meriah, kebiasaan mengadakan perarakan-perarakan dengan lagu-lagu yang mengharukan, kebiasaan menghormati Bunda Maria dengan berdoa Rosario, kebiasaan menghormati orang-orang Kudus seperti: St. Yosef, St. Dominikus, St. fransiskus dan St. Antonius, semuanya sangat membangkitkan rasa keagamaan di hati umat. Kebiasaan ini tetap hidup dan terpelihara dan telah merupakan budaya umat Katolik di Larantuka.

Misionaris Dominikan lebih mengutamakan doa dan tapa yang dipusatkan pada masa Puasa dan puncaknya pada Perayaan Pekan Suci. Pada masa ini umat berkumpul di Gereja / Kapel / Tori, berdoa bersama dan melakukan tapa.

Tahun 1599 Semana Santa di Larantuka diselenggarakan secara lebih istimewa dengan ujud khusus agar terbebas dari bahaya yang mengancam umat selama 7 bulan. Sejak 12 Agustus 1598 Benteng Lohayong dikepung dan semua stasi yang merupakan basis umat Katolik Misi Solor diserang oleh musuh yang terdiri dari orang-orang Katolik murtad dan orang-orang kafir yang mengakibatkan banyak orang katolik termasuk Imam-imam terbunuh. Namun berkat doa dan tapa yang dilakukan selama masa puasa tahun 1599 dan atas bantuan tentara Purtugis dari Malaka, penyerangan-penyerangan pihak musuh dapat dipatahkan pada tanggal 24 Maret 1599. Sebagai ungkapan syukur sekaligus silih, maka Perayaan Pekan Suci tahun itu dirayakan sebih meriah dan istimewa dan untuk pertama kalinya Prosesi Jumad Agung di Larantuka diadakan.

CONFRERIA REINHA ROSARI LARANTUKA


Di wilayah Keuskupan Larantuka, terdapat sebuah Serikat Awam Katolik. Dalam buku Sejarah Gereja Katolik di Indonesia, Serikat Awam ini selengkapnya disebut Confreria Reinha Rosari tercatat sebagai Serikat Awam katolik tertua di Indonesia.
Serikat ini masih aktif sampai sekarang, terutama dalam berbagai kegiatan peribadatan devosional. Dalam Ensiklopedia Gereja jilid I hal. 209, oleh P. A. Heuken, SJ dicantum-kan bahwa Confreria Reinha Rosari Larantuka telah didirikan oleh paderi-paderi Ordo Dominikan pada tahun 1564. Pada tahun 1405, Bapa Paus Innocentius VII mengakui adanya Persaudaraan Pertapaan Santo Dominikus yang kemudian pada tahun 1484 mengubahnya menjadi Ordo ke – III dari Ordo Dominikan dengan tujuan agar gereja di tanah misi tidak tergantung kepada misionaris / imam saja. (Misionaris Portugis dan Spanyol) Inilah pemikiran awal terbentuknya Serikat Confreria dan merupakan motivasi dasar, mengapa dan untuk apa keberadaan serikat ini dalam Gereja. Confreria Reinha Rosari Larantuka sebagai Ordo ke III Dominikan telah terdaftar untuk selamanya pada Archiconfreria di Vatican – Roma sebagai salah satu Serikat Awam dalam Conggregatio de Propaganda Fide (yang dibentuk oleh Paus Gregorius XV tahun 1562).

Setelah Ordo Dominikan meninggalkan dan tidak berkarya lagi di Larantuka, Confreria Reinha Rosari Larantuka untuk selanjutnya diserahkan sepenuhnya kepada ordinaris wilayah keuskupan setempat (sekarang Uskup Larantuka)
Confreria Reinha Rosari Larantuka dalam pengabdiannya bertugas dan bertanggung jawab pula dalam hal pembinaan iman dan pengetahuan agama. Hal ini sangatlah nampak dan menonjol terutama di saat-saat Larantuka mengalami kekurangan bahkan ketiadaan Imam di masa lampau selama hampir seabad. Selain tugas-tugas tersebut, Confreria juga memelihara dan melaksanakan semua peribadatan devosional terutama Devosi Jumad Agung (Semana Santa) yang memang telah berakar dan membudaya bagi orang Larantuka. Confreria Reinha Rosari pada mulanya hanya terdapat di Larantuka, Wureh dan Konga. Kemudian diperluas pembentukannya di setiap stasi Misi / Paroki, terutama setelah Perang Dunia ke II. Oleh karena pembentukan iman umat maupun kehidupannya terjadi di tengah-tengah tradisi Portugis (masa lampau) maka hingga kini dalam kehidupan iman umat maupun dalam kehidupan Confreria serta dalam peribadatan devosi, masih ditemukan banyak tradisi Portugis masa lampau serta penggunaan bahasa Portugis walaupun sudah banyak termakan usia. (dikutip dari buku panduan Semana santa 2008 hal 12 sd hal. 13)

Pada hari Kamis Putih, kami berkunjung ke Waiklibang, kira-kira 1 jam perjalanan kearah timur Larantuka. Penduduknya masih sederhana. Disini ada Kelompok Doa Santo Dominikus yang beranggotakan ibu-ibu. Ada 25 anggota berkumpul sekali dalam se-minggu. Pada awalnya mereka mendoakan ujud doa masing-masing. Namun lama kelamaan, dengan banyak terkabulnya doa-doa mereka, permintaan doa berdatangan begitu banyak dari kerabat, tetangga dan umat lingkungan setempat, hingga kini hampir setiap hari mereka berkumpul untuk berdoa bersama. Kebersamaan mereka penuh dengan keakraban, kepolosan dan kesederhanaan yang menyadarkan kami akan kehadiran Kristus sendiri melalui mereka.

Pagi hari Jumat Agung, di tepi pantai Larantuka sudah banyak kapal-kapal dan sampan-sampan yang berkumpul, siap untuk mengikuti prosesi laut. Devosi dimulai di kapel Tuan Menino Sarotari pukul 11.00 dipimpin oleh seorang Romo dan para Confreria Reinha Rosari. Setelah upacara, prosesi menghantar Tuan Menino oleh Umat, dikawal permaisuri dan anak Raja, dibawa dengan perahu menuju ke Pantai Kuce di Pohon Sirih. Diiringi perahu-perahu besar maupun kecil yang membawa para pejiarah mengikuti prosesi laut. Pukul 13.00 dilakukan juga prosesi menghantar Salib Mesias Anak Allah dari Tori Mesias Anak Allah ke Armida Balela. Pukul 14.00 diberangkatkan pula Prosesi menghantar Tuan Ma dari kapel Tuan Ma, dan Tuan Ana dari kapel Tuan Ana, ke Gereja Katedral Reinha Rosari oleh para Confreria dan Umat. Dan Ibadat Jumad Agung pun di mulai tepat pukul 15.00 wita. Dilanjutkan dengan upacara cium salib dan pembagian komuni. Setelah seluruh rangkaian Ibadat Jumad Agung selesai, dilakukan dahulu Lamentasi Jumad Agung berisikan doa-doa ratapan yang berlangsung kira-kira 1 jam. barulah dipersiapkan prosesi Semana Santa yang dimulai dan diakhiri di Katedral.

Prosesi Semana Santa yang dilaksanakan tiap Jumat Agung ini berlangsung dengan sangat tertib, membuat Fr David sangat terkesan. Sungguh mengagumkan, bahwa walaupun begitu banyak (+/- hampir 10.000 pejiarah yang ikut), namun suasana hening tetap terjaga. Dengan tertib mereka berjalan dalam kelompok masing-masing dengan membawa lilin bernyala. Setelah beberapa kelompok berjalan, barulah Tuan Ma, Tuan Ana dan Tuan Missericordiae di tempatkan di tengah-tengah prosesi Umat, disusul dengan kelompok Umat Pejiarah lain. Sungguh pengalaman yang menyentuh hati, menyaksikan begitu banyak Umat Pejiarah yang seolah tiada habis-habisnya. Larut dalam kesedihan dan kepedihan bersama Bunda Maria, karena Yesus puteranya rela wafat disalib untuk menebus kita manusia. Di setiap Armida persinggahan, dilantunkan pula ratapan Bunda Maria yang begitu memilukan, sehingga umatpun larut dalam kesedihan dan meneteskan air mata. Tanpa terasa, prosesi yang berlangsung hingga dini hari pukul 02.30 ini pun selesai. Setiap tahun, apabila beliau tidak berhalangan, Bapa Uskup selalu mengikuti prosesi Semana Santa ini.



Sabtu Santo (Sabtu Suci) pagi, pukul 09.00 sebelum Fr. David M Kammler OP, mening-galkan Larantuka, sempat beraudiensi dengan Yang Mulia Bapa Uskup Larantuka, Frans Kopong Kung Pr. yang menyampaikan harapan agar semakin banyak putra dan putri Indonesia terpanggil dan tetap mempertahankan tradisi serta spiritualitas Dominikan di Indonesia, khususnya di Larantuka, baik sebagai Biarawan, Biarawati maupun Awam.

Demikianlah sekelumit pengalaman kunjungan Fr. David M. Kammler OP, Promotor Jendral Dominikan Awam di Indonesia, dalam rangka tugas kunjungannya ke berbagai negara: India, Pakistan, Singapura, Philipina, Vietnam, juga ke negara-negara di Afrika dan Amerika Serikat.

Ditulis oleh:
Sr. M. Elisabeth OP
Biara Pusat Suster St. Dominikus di Indonesia
Jl. Pejaten Raya No. 1 (STRADA) Kel Jatipadang, RT. 007 / 010
Jakarta, 12540. – Telp. 021-7807271, Fax. 021-78838644.

No comments: